object>
Diberdayakan oleh Blogger.

 

Arti Sahabat


Di daun yang mengalir di sungai
Dengan bunyi yang lembut…
Tanpa adanya riuh yang menggangu..
Namun daun yang mengalir…
Tidaklah mungkin tidak terantuk batu..
                Persahabatan yang abadi…
                Pastilah pernah tersandung batu..
                Namun..
                Apakah bisa kembali bangun?
Sahabatku…
Aku menganggapmu sebagai rumah isi hatiku…
Aku menganggapmu sebagai malaikat penghiburku…
Namun apa daya…
Hatimu tak seterang sang mentari…
Namun mulai gelap
Bagai langit di kala senja
                Ku percaya akan hatimu yang sekeras batu…
                Pasti di sana ada pengertian dari…
                Arti persahabatan…
                Yang telah lama di bina.


ARTIMU



Kadang…
Kau bagaikan tetes embun Pagi
Kilaukan rona dan sejukan hati…

Kadang…
Kau bagaikan mentari di Siang hari
Sewaktu-waktu membakar amarahku…

Kadang…
Kau bagaikan lembayung Senja
Damaikanku dalam hangat pelukanmu…

Kadang…
Kau bagaikan Malam yang sunyi
Tinggalkanku dalam kesendirian…

Begitulah Artimu bagiku
Dan terus berputar sejalan
Seiring dengan Waktu….


SURAT KECIL BUAT BUNDA

Cakrawala senja yang indah menawan terlihat sebuah keluarga yang asyik berliburan di pantai. Eh ternyata ada seorang bidadari cantik yang sedang duduk sendirian sepi di tepi pantai memandang indahnya keindahan alam yang telah dianugrahi Sang Maha Kuasa. Gadis itu mempunyai lesung pipit di sebelah kiri pipinya yang terlihat begitu manis disaat dia tersenyum. Dia memliki tinggi badan sekitar 170 cm, menatap sang mentari senja yang akan segera angslup ke cakrawala. Seakan-akan tak ingin melewatkan keindahan ini. Dia tersenyum dan terus tersenyum menatapinya. Sementara jam telah menunjukkan pukul 18.30 Wib sudah seharusnya gadis yang berusia 19 tahun ini pulang ke rumah, tapi entah mengapa gadis yang bernama Anjani ini memilih bertahan duduk di tepi pantai dengan terdiam sambil menebarkan senyuman itu. Ada seorang nelayan yang tengah lewat pulang dari melaut dia menyapa gadis ini, “Neng, kok duduk sendirian di hari senja ini”. Gadis ini tetap membisu sambil menebarkan senyumannya yang seolah-olah tak kedengaran sapaan itu olehnya. Nelayan pun heran sambil menggelengkan kepala melihat sikap gadis ini dan segera pulang ke rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter dari pantai itu.
“Anjani… hari sudah hampir malam ayo kita pulang ke rumah nak!, panggilan ibunya. “ya, Bu sebentar lagi aku pulang”. Balas Anjani.
Jarum jam pun terus berputar hingga jam sekarang menunjukkan jam 18:45 Wib, tapi gadis ini masih juga duduk terdiam di tempat duduknya itu seolah-olah tidak mau pulang bersama ibu dan ayahnya. “Nak, kamu lihat nggak hari sudah gelap ayo pulang Nak, nggak baik seorang gadis duduk di luar rumah malam-malam”. Ujar ibunya yang menghampirinya dengan sedikit cemas. “Ya, Bu ayo kita pulang”. pasrahnya.
Akhirnya Anjani pun pulang bersama ibunya dengan bergegas-gegas menaiki mobil berwarna biru itu dikarenakan hari yang semakin gelap. Setiba di rumah Anjani langsung memasuki kamar tanpa menjawab sapaan dari kakaknya yang bernama Baron Sakti. “Ayah, akhir-akhir ini kok anak kita agak sedikit aneh jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya”. Tanya Ibu kepada ayah sambil berjalan menuju meja makan. “Entahlah Bu, ayah juga heran dengan kelakuan anak kita kerjanya melamun dan melamun sambil tersenyum ria melihat keindahan sunset di setiap sore”. Balas Ayah. “ya sudah besok saja kita bahas sekarang ibu panggil anak mu supaya dia mau makan malam bersama kita.
Tuk tuk, suara ketukan pintu kamar Anjani, “Nak, ayo kita makan malam bersama ibu, ayah dan nenek malam ini”. Panggil ibunya dari luar kamarnya. Anjani tak menjawab panggilan dari ibunya, Anjani sedih karena dia tidak pernah mendapat perhatian dari kedua orangtuanya. Ayahnya sibuk mengurus pekerjaan di sebuah instansi perkantoran pemerintah, begitu juga dengan ibunya yang juga sibuk bekerja di instansi bank sehingga dia tak pernah mendapat asuhan dan didikan dari kedua orangtua.
Semakin hari kelakuan Anjani terlihat semakin aneh, jam 18:00 WIB dia sudah duduk di tepi pantai itu menunggu keindahan sunset yang akan segera muncul. Semakin hari ibu dan ayah heran melihat tingkah dari anak gadis ini. Setiap hari sepasang suami istri ini sibuk bekerja sehingga anaknya tidak pernah mendapatkan perhatian penuh mereka tidak tahu apa kegiatan sehari-hari anaknya itu.
Anjani adalah gadis yang gemar menulis, setiap hari di sekolah kerjanya cuma menulis dan menulis cerita, disaat guru menerang pelajaran kerjanya masih tetap menulis entah cerita apa yang ditulis di dalam diarynya itu, terkadang dia melamun dibangkunya sambil memainkan pena di jarinya itu seakan-akan dia memikirkan ide untuk melanjutkan tulisannya.
Di suatu saat Anjani pernah menulis cerita hidupnya dalam buku catatan hariannya yang biasanya tergeletak di atas meja belajar dalam kamarnya di waktu itu. Isi tulisan itu adalah sebagai berikut.
“Hari ini tanggal 21 januari aku sangat bahagia, karena aku resmi berpacaran dengan cowok yang gagah, tampan, berbadan tegap dia bernama Denis yang diidolakan oleh semua cewek di sekolah kami, tapi Denis lebih memilih aku dibandingkan dengan cewek lain. Aku sangat bahagia.” Inilah hadiah kado ulang tahunku seumur hidupku yang paling berharga bagiku.
Di hari kemudian ada seorang cewek yang datang ke rumah Anjani namanya sinta, dia adalah teman akrab Anjani di sekolah. “Bu, Anjaninya ada di rumah bu?”. Tanya gadis ini kepada ibu aisyah. “Anjaninya keluar tadi entah kemana Nak, ibu saja baru pulang dari kantor, pas ibu pulang terlihat rumah kosong nggak ada siapa-siapa, ada apa kamu mencarinya.” Balas Ibu. “Nggak ada bu, kami ada janji sesuatu”. Gumamnya.
Terlihat jam sudah jam 18:00 WIB Anjani pun tak kunjung pulang ibunya merasa cemas sehingga ibunya menyuruh Baron untuk mencari adiknya. Baron pun segera mencari Anjani keluar. Tapi apalah guna baron pulang dengan sendirian pukul 19.30 WIB dalam arti Anjani tidak ditemukan. Tak lama kemudian terlihat sebuah mobil biru yang berhenti di depan rumah Anjani, eh ternyata Anjani sudah pulang yang di antar oleh Denis. Anjani langsung memasuki rumah dan langsung masuk ke dalam kamar tanpa membalas sapaan dari ibu dan baron.
Semakin hari kelakuan Anjani tak kunjung berubah, kerjanya pulang malam terus bersama Denis sementara ibu dan ayahnya tak pernah tahu bahwa mereka berpacaran. Pernah ibu menanyakan kepada Anjani tentang teman laki-laki yang bernama Denis itu, tapi Anjani menjawab bahwa Denis adalah teman sekolahnya. Dengan sifat ibunya yang begitu polos tak ingin tahu menahu tentang anaknya sehingga ibunya percaya bahwa Denis itu adalah teman biasanya Anjani.
Keesokan harinya terlihat Anjani dan teman-temanya duduk di bawah pohon rindang di dekat cafe di sekolahnya, tampaknya mereka bersuka-suka ria di sana, yang tak terasa Anjani mengeluarkan uang untuk traktir teman-temanya. “Sekarang jam 13.30 WIB ayo kita pulang lagi sudah waktunya jam pelajaran terakhir habis”. Ujar Heni. Mereka pun pulang bersama mobil jazz milik Anjani yang berwarna biru itu.
Setiba di rumah Anjani langsung memasuki kamar dan dia langsung mengambil pena dan segera memainkannya di atas buku hariannya yang bertuliskan sebagai berikut. “Hari ini adalah hari yang sangat mengembirakan aku menghabiskan waktu ku hanya bermain-main saja bersama teman-temanku di sekolah tanpa ada bebas. Husss… senangnya”.
Tak lama kemudian dering hanphonenya pun berbunyi ketika dia baru menyelsaikan tulisannya dan terlihat bertuliskan “saiyangku” memanggil. Anjani menjawab panggilan itu. Percakapan pun dengan pacarnya itu berlangsung.
Tak terasa sudah semakin enaknya ngobrol hingga mencapai menit ke 00.53 rasa rindu pun muncul antara Anjani dan Denis. Denis bertanya kepada Anjani “Yank, ibu dan ayah kamu kemana? boleh nggak aku berkenalan dengan mereka?” Anjani menjawab, “mereka nggak ada di rumah sekarang, lain kali aja ya! Balas Anjani. Dengan semakin-semakin lama dan lama ngobrolnya timbul gairah nafsu antara Anjani dan Denis. Denis bertanya balik pada Anjani, “Yank kamu mau nggak bermain ke rumah ku sekarang.” Ujarnya dengan genit. “Ah, tapi di rumahmu nggak ada siapa-siapa aku takut nanti jelek dilihat orang”. Balas Anjani dengan polos. “Kamu gimana sih, kamu nggak sayang lagi sama aku, kamu gitu ya sekarang. Kata Denis. Setelah dipikir-pikir ternyata Anjani pun berubah pikiran dan mengatakan “Bahwa aku akan segera kesana.” “Kalau kamu sudah sampai di rumah kamu langsung saja masuk ya kemaren kan sudah aku kasih tahu di sebelah mana kamar ku”. Kata Denis lagi.
Tak lama kemudian Anjani pun datang ke rumah Denis dan segera masuk. Di waktu membuka pintu ternyata terlihat seorang nenek tua, tuli dan matanya rabun yang sedang tidur di sofa. Secara diam-diam dan perlahan Anjani pun memasuki kamarnya Denis tanpa sepengetahuan neneknya itu. Denis pun menyambutnya dengan sangat gembira bisa berduaan dengan Anjani tanpa diketahui oleh orangtua dan neneknya.
Sering kita dengar perkataan orangtua itu bahwa kalau kita berduaan di tempat sunyi dengan lawan jenis pasti muncul orang ke tiga yang menyelib di tengah kita yaitu syaitan. Ternyata hal itu terjadi pada Anjani dan Denis tanpa disadari mereka pun melakukannya untuk melampiaskan rasa rindu antara satu sama lain.
Setelah dua jam berlalu terdengar lagi nada hanphone Anjani berbunyi yang tertulis Mama Memanggil. Anjani pun membalas panggilan dari ibunya itu, sambil berpelukan dengan pacarnya. “Nak, kamu dimana apakah kamu ada di rumah.” Kata ibunya lewat handphone. “Ya bu, sekarang aku di rumah”. Balasnya. “Ya udah, kamu bersih-bersih dulu ya tiga puluh menit lagi ibu sampai di rumah ibu mau ngajak kamu liburan ke sebuah Mall. Mengetahui ibunya akan segera pulang Anjani pun bangun dari tempat tidurnya dan bergegas merapikan pakaiannya untuk segera pulangi ke rumah, karena dia telah terlanjur mengatakan dia ada di rumah kepada ibunya.
Tiga puluh menit kemudian ibu Anjani sampai di rumah yang melihat Anjani sedang tidur nyenyak, ibunya tak tega membangunkannya sehingga dia membatalkan untuk pergi ke Mall. Padahal Anjani hanya pura-pura tidur karena dia takut nanti kalau ketahuan bahwa dia baru pulang dari rumah Denis.
Tiga bulan kemudian Anjani terserang penyakit sesak nafas ketika dia sedang duduk sendirian di tepi pantai tempat biasanya dia kunjungi. Dan dilarikan ke rumah sakit B yang keadaannya koma, tanpa ditemani oleh orangtuanya, yang ada hanya seorang nelayan yang duduk di sampingnya, karena seorang nelayan inilah yang melihatnya di waktu Anjani sedang duduk di tepi pantai yang biasa dia kunjungi itu dan langsung membawanya ke rumah sakit.
Terdengar deringan hanphone di dalam saku baju Anjani dalam ruang rumah sakit itu, yang bertuliskan di monitornya “Mama Memanggil” kemudian dengan rasa kebingungan nelayan pun mengangkat hanphone dan segera membalasnya dengan memberitahu bahwa “Anak ibu sekarang berada di rumah sakit B.” Dengan terkejut Ibu Aisyah langsung meninggalkan pekerjaannya dan segera berangkat ke rumah sakit dan memberitahu ayah dan baron kakaknya Anjani, untuk segera berangkat ke rumah sakit itu. Dengan bergegas mereka semua berangkat ke rumah sakit yang jaraknya sekitar 1 jam perjalanan.
Sesampai di rumah sakit terlihat seorang nelayan sedang menangis terisak-isak karena sebelumnya Anjani telah menceritakan kisah hidupnya tentang kelalain kedua orangtuanya mengasuhnya sehingga tanpa dia sadari sekarang dia hamil 3 bulan di luar nikah.
Tak lama kemudian terlihat seorang dokter keluar dari ruang ICU dan menggelengkan kepalanya dan nelayan ini bertanya kepada dokter dengan rasa cemas. “Dok, bagaimana keadaannya gadis ini”. Dokter menjawab “Kami dari tim dokter sudah berusaha semaksimalnya, namun hasilnya kehendak Yang di Atas Pak”. Mendengar dokter spesialis jantung itu berkata “Anjani tak tertolong lagi karena paru-parunya sudah parah, Maaf Pak.” Ibu, ayah dan baron pun juga menangis terisak-isak bahwa anaknya telah tiada lagi.
Satu minggu kemudian ibu Aisyah stres memikirkan anaknya. Dia sangat menyesali perbuatannya karena kelalalian dalam mendidik anak yang mementingkan karier dari pada anak sehingga dia tidak tahu entah apa yang dilakukan Anjani selama ini.
Di tengah malam yang sunyi ibu Aisyah terbangun dan terdiam sambil berpikir “Mengapa aku lebih mementingkan karier sementara aku tidak memerhatikan anak ku sendiri”. Batinnya sambil mengeluarkan air mata. Ayah pun terbangun karena mendengar ibu menangis terisak-isak. “Sudahlah bu tidak usah menangis setiap malam seperti ini, semuanya telah terjadi disinilah kita hanya bisa mengambil pelajaran semua ini”. Ujar Ayah sambil memeluk Ibu aisyah. Dengan merasa penuh peyesalan ibu Aisyah dan ayah memasuki kamar Anjani dan melihat foto-fotonya yang berjejeran di dindingnya itu karena malam ini adalah hari ulang tahun Anjani.
Ketika di kamar terlihat ada sebuah buku diary Anjani yang bertuliskan SURAT KECIL BUAT IBU disampulnya, yang tergeletak di sudut kiri kamar yang tempat biasanya Anjani belajar. Ibu pun membukanya dan membaca satu-persatu dari tulisan ini. Semua tulisan itu berisi tentang cerita sehari-hari Anjani. Dan pas pada halaman terakhir halaman 21 dan sekaligus pada malam 21 januari itu Anjani menulisan kisah menulis surat buat bundanya yang bertuliskan.
Bu, maafkan aku jika aku telah membohongi ibu selama ini, bukannya aku benci ibu tapi aku sedikit kecewa bu, karena aku tak pernah mendapat perhatian dan kasih sayang sepenuhnya dari ibu dan ayah, aku ingin seperti dengan teman-teman ku yang lain bu, yang bisa berkumpul dengan keluarganya setiap saatnya. Aku merasa kesal bu dan aku juga butuh belaian dari ibu. Sekarang tanggal 21 januari aku melakukan hal yang tak seharusnya aku lakukan. Tapi karena ibu tidak pernah memberi aku nasehat kepada aku, aku tak tahu bagiamana aku bisa menjalani hari-hari aku dengan penuh rasa nyaman. Aku hanya bisa melampiaskan rasa kecewa ini dengan melakukan hubungan s*ks dengan laki-laki bu. Bu, maafkan aku, Jika aku telah tiada lagi bisa menatap indahnya kuningan senja, aku berharap jangan kau biarkan adik dan kakakku seperti aku yang tak pernah mendapat belaian kasih sayang dari kalian.
Dengan isak tangis yang begitu membatin akhirnya tulisan itu selesai juga dibaca walaupun tulisan tersebut telah dibasahi dengan air mata dari ibu Aisyah ini. Akhirnya kedua orangtua ini sangat menyesali semua perbuatannya dan keduanya berjanji tidak akan pernah menyiakan anak-anaknya lagi kelak. “Maafkan ibu Nak, karena kelalaian ibu selama ini kamu tidak mendapatkan didikan dari kami”. Ujar kedua orangtua ini sambil menangis penuh penyesalan dan bepelukan erat.


BERUJUNG MAUT


Angin semilir berhembus, serasa tulang-tulang kaku merasakannya, menggugurkan dedaunan pohon yang kering. Musim hujan berganti musim panas dan kering karena itu chika harus sesering mungkin untuk menyapu halaman rumahnya yang sangat luas.
Chika adalah seorang kutu buku yang kurang berapa bulan akan menyelesaikan skripsi s1-nya. Rambut panjang, cantik, manis, pintar dan cerdas tetapi juga sifat cuek yang dimilikinya. Itulah chika yang saat ini sedang berada di ruang kelas fakultas ekonomi.
Rico seorang lelaki gagah, cowok yang terkeren di fakultas ekonomi diam-diam menaruh hati pada chika, tetapi chika tidak menyadarinya.
Suatu hari, chika sedang berada di taman fakultas, tetapi tanpa sadar rico yang punya sifat cari perhatian datang dan mencoba untuk menghibur chika. Kemudian chika pun tertawa, dengan cara rico yang menghiburnya dan membuat perutnya geli.
Lama kelamaan di antara mereka terjadi pdkt/pendekatan, akhirnya sifat cuek chika pun luntur sedikit demi sedikit. Mereka berdua pacaran. Mereka pacaran dilandasi dengan rasa saling support.
Bulan telah berganti, saat ini bulan yang dinantikan untuk kelulusan telah datang, yaitu tugas pembuatan skripsi atau laporan. Hubungan mereka didukung dengan saling support belajar, mereka bersama-sama mengerjakan tugas skripsinya di taman
Tugas pun terselesaikan, kemudian mereka sama-sama magang dan alhasil nilai mereka berdua sama-sama sangat menonjol di fakultas. Akhirnya mereka lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.
Lama mereka berhubungan terdapat suatu masalah yang disembunyikan oleh chika. Rico tak mengetahui sedikitpun tentang ini karena hal ini tidak diketahui sedikitpun oleh orang-orang tersayang chika, yang mengetahui hanyalah chika seorang. Chika menyimpan penyakit ini sendiri selama beberapa tahun belakangan. Mengejutkan, ternyata chika mengidap penyakit kronis yaitu kanker darah stadium akhir. Itu yang selama ini membuat chika cuek dengan teman dan orang lain bahkan chika tak pernah bercerita kepada orangtuanya bahwa ia mengidap penyakit kronis itu.
Penyakit chika semakin hari semakin parah dan mengakibatkan dia harus keluar darah dari hidung setiap hari, apabila ia kecapek’an. Rico semakin curiga dengan chika, tetapi chika tak mau membagi bebannya sedikitpun dengan kepada orang lain.
Hari ini chika di rumah sendiri, kedua orangtuanya pergi untuk menyelesaikan tugas pekerjaan bisnis ke luar daerah. Chika mengeluarkan darah dari hidung sangat banyak, mengharuskan chika untuk segera menghubungi dokter spesialis langganan chika, tapi sayang ketika dokter sampai di rumah dan diantar pembantu rumah tangga ke kamar chika, chika sudah tak sadarkan diri, dokter sudah terlambat menyelamatkan nyawa chika, akhirnya pembantu menghubungi kedua orangtua chika dan rico.
Rico bergegas dengan penuh rasa khawatir dengan kepergian chika sampai ia ngebut di jalan raya. Tapi naas bagi rico, truk yang mengangkut pasir menabraknya dari arah samping. Rico koma selama 3 hari dan saat ia sadar ia langsung berlari untuk meminta ijin kepada orangtua rico untuk bersedia mengantarkan ke makam chika. Kedua orangtua rico bersedia mengantar. Tapi saat di pemakaman rico menangis tersedu-sedu, menangisi kepergian chika.
Kedua orangtua chika menceritakan penyakit yang diketahuinya kemarin saat dokter menceritakan. Rico menyesal karena rico tidak bisa menjaga chika dengan baik
Beberapa tahun kemudian…
Rico menemukan pendamping hidup yang sejati yang hanya terpisahkan oleh maut.


LONCENG-LONCENG ANGIN


Desember! mendung menggantung di setiap sudut-sudut langit, mendung yang pekat sewarna buah anggur hitam. Kupastikan sebentar lagi air-air langit itu akan turun beramai-ramai. Membasahi tanah-tanah, pohon-pohon, atap-atap rumah dan jalan-jalan. Bulan penuh hujan, kadang pagi hari hujan deras, kadang siang, kadang tengah malam kilat menyambar-nyambar, tapi mendekati akhir desember, air-air langit itu datang sepanjang hari dan sepanjang malam. Angina berhembus sedari tadi, membawa hawa dingin yang menusuk-nusuk.
Kususuri jalan kampungku yang lama kutinggal pergi, jalan-jalan kecil itu tak berubah, masih seperti dulu, hanya mungkin konturnya yang diperhalus, rumah-rumah penduduk di seberang-seberang jalan nampak lebih modern sekarang, kalau dulu rumah-rumah banyak yang berkayu dan bergaya joglo tradisional, dengan lantai yang masih tanah, berhalaman luas yang ditumbuhi rumput-rumputan jepang dan bunga bougenfil, sekarang rumah-rumah itu sudah banyak yang ditembok dan dikeramik, tak ada bunga bougenfil rimbun, atau melati, atau bunga desember yang mekar besar-besar.
Hujan turun juga, tak ada gerimis mula-mula. Air-air langit itu tiba-tiba turun besar-besar dan ramai. Aku terkejut lalu berlari-lari sambil memayungi diriku dengan telapak tangan. Menembus kebun orang dan melewati jalan setapak kecil, bau hujan menyeruak, bau tanah basah yang kurindu-rindukan. Air-air langit itu dengan cepat membasahi kaos oblong dan celana trainingku. Kupercepat langkah kakiku, tapi tiba-tiba kakiku mendadak berhenti, di depan rumah kayu dengan gaya joglo dan beratap runcing, halaman luas, dengan pohon manga yang digantungi ayunan disana, rumput jepang memadati halaman, serta aneka bunga-bungaan tumbuh subur. Seorang wanita berdiri di depan rumah berkacak pinggang sambil mengomel-omel dengan dua bocah laki-laki kembar yang tak menghiraukan omelan, terus saja bermain dan berlari dibawah derasnya guyuran hujan. Tertawa-tawa.
Untuk waktu sepersekian detik, memoriku meracau meracau, tiba-tiba menggali-gali kenangan dan mengajakku berlari mundur. Wanita itu melihatku basah kuyup di seberang jalan, seperti melihat kilat, ia terlihat menahan nafas, aku tersenyum padanya, untuk jeda yang cukup lama, wanita itu akhirnya tersenyum dan melambaikan tangannya, menyuruhku berteduh di rumahnya.
“sempat tak mengenalimu” kataku memulai percakapan, setelah dia kembali dari dalam dengan membawa teh hangat, lalu sepiring jagung rebus yang masih berasap dan handuk kecil.
“tak apa kan, kita duduk di teras? suamiku tak di rumah” katanya lembut, dua lesung pipinya masih setia menghiasi senyumnya. Aku mengangguk cepat.
“enak di teras begini, hujan, adem. Mereka anak-anakmu?” tanyaku. Hima, wanita itu mengangguk sambil mengamati dua bocah lelaki kembar berusia sekitar tujuh tahun itu berlari di bawah hujan.
“akhirnya kamu punya anak kembar juga, itu impianmu sejak dulu, punya anak serupa yang lucu-lucu” kataku sambil menyeduh teh perlahan. Kulihat wajahnya, matanya menerawang ke depan. Kulihat ayunan dari ban karet bekas masih menggantung di dahan pohon mangganya, ayunan itu ada sejak aku masih kecil. Tak ada yang berubah, tak ada.
Usiaku Sembilan tahun saat aku dan ayahku pindah ke kampung ini, ayahku petugas perhutani yang area kerjanya sewaktu-waktu berpindah-pindah tempat. Untuk pertama kalinya, aku merasa asing. Aku tak kenal orang-orang ini, tak juga pohon-pohon itu, batu-batuannya, tak juga angin yang berhembus. Tapi aku juga bosan di rumah. Kuputuskan berlari ke belakang rumah, dan kudapati tanah bekas sawah yang ditumbuhi rumput-rumputan liar. tak ada siapa-siapa. Angina berhembus meniup-niup rambut, tiba-tiba dari balik batu besar kulihat seorang gadis dengan kucir kuda berdiri kaku, matanya yang lebar dan tajam, siaga! sesekali ia menggosok-gosokkan tangannya di telinganya. Esoknya, kulihat ia lagi, begitu pula esok, dan esoknya lagi, ia selalu berdiri disana, dan saat angin berhembus, ia selalu siaga.
“Hei! hei! sedang apa kau?” teriakku, dia terkejut lalu menoleh, menatapku heran.
“kamu siapa?” tanyanya.
“aku Alva, ayahku dan aku baru saja pindah kesini, rumahku…”
‘sssstttt…” tiba-tiba ia melompat dan membungkam mulutku keras-keras, lalu seperti biasa ia seperti mempertajam pendengarannya dengan seksama ketika angin lewat dan berhembus.
“lanjutkan!” katanya setelah angin selesai berhembus.
“apa yang kau lakukan?” tanyaku.
“mendengarkan” dahiku berkerut.
“suara lonceng-lonceng, tidakkah kau mendengarnya?” katanya balik bertanya. Aku menggeleng.
“tidak ada lonceng disini, kalau kau ingin mendengar suara lonceng, aku punya dua buah di rumah, kecil-kecil, tapi bisa berbunyi, kau tidak harus berdiri disini sepanjang hari.” Ia menggeleng keras-keras.
“bukan lonceng biasa, tetapi lonceng-lonceng angina, yang dibawa dari utara.” Katanya, dahiku berkerut-kerut lagi. “suara lonceng ini misterius, tak sembarangan orang bisa mendengarnya, lonceng yang berasal dari angin. Jika kau mendengarnya, kau ucapkan permohonanmu, lalu tunggu dikabulkan.” Katanya serius. Rasanya aku ingin tertawa kencang, tapi melihatnya begitu bersemangat, kutahan sekuat tenaga tawaku yang hendakdak pecah.
“Ya sudah, aku pergi dulu, al-va” katanya lalu berlari. Rambut ekor kudanya berkibar-kibar.
“Hei! gadis lonceng! siapa namamu?” teriakku, dia berhenti.
“Hima!” teriaknya. Aku menggumamkan namanya, hima. Aku penasaran apa yang diinginkannya, hingga ia terus saja berdiri disana setiap hari, menunggu lonceng.
“kapan kau akan menikah?” tanyanya membuyarkan lamunanku, aku tersenyum.
“aku sudah punya anak dua, jangan terus-terusan sekolah dan kejar karir. Kau sudah sukses, saatnya memikirkan pernikahan” katanya. aku tertawa, dia menatapku heran.
“Ucapanmu mirip orang-orang, teman-temanku, kata-katanya sama, nadanya pun sama persis” kataku.
“Bertahun-tahun di Singapura apa tidak ada gadis Singapura yang kau taksir?” tanyanya lagi.
“Menaksir seorang wanita tidaklah mudah, kau tahu aku sulit jatuh hati pada wanita”
“menikahlah, aku belum tenang, jika belum melihatmu menikah dan bahagia” katanya, matanya berkabut.
Sejak pertama melihatnya, hatiku sudah dibawa pergi. Semakin hari, setiap hari bertemu dengannya, sepulang sekolah, liburan sekolah, setiap waktu luang kuhabiskan dengannya, di tanah lapang bekas sawah di belakang rumah. Kian lama wajahnya berubah cantik dan dewasa. Kami beranjak remaja dengan cepat, dan hanya dia wanita yang paling dekat denganku. Tanah lapang tempat kami tumbuh dan dewasa tetap sama, tak hanya aku dan Hima saja, teman-teman sekolah kami lainnya juga kadang ikut nongkrong disana, bermain bola, belajar bersama dan tak melakukan apa-apa. Dan saat itu, aku tahu, hatiku sudah hilang sepenuhnya, hatiku telah digenggamnya kuat-kuat. Dan aku tergila-gila padanya.
“aku mendengar lonceng-lonceng itu berbunyi kemaren,” kataku. Dia terkejut dan menatapku lekat-lekat.
“apa yang kau minta?” tanyanya.
“aku minta gadis lonceng” kataku. Dia berkerut.
“aku memintamu dan aku, bersama” kataku. Ia terkejut, lalu perlahan wajahnya bersemu.
“Permintaanmu dikabulkan” katanya, lalu mencium pipiku cepat. Jantungku kelimbungan.
“jangan risaukan aku, aku pasti menikah” kataku
“aku bicara begitu sebagai seorang sahabat, aku ingin melihat sahabatku juga bahagia” katanya, menatapku lekat-lekat. Anak-anaknya berlarian ke arahnya, saling teriak dengan badan basah kuyup. Hima memohon diri sebentar untuk mengurus buah hatinya, menggantikan baju mereka. Aku menatap ayunan itu, lama.
Aku menghabiskan waktu bertahun-tahun bersamanya. Bercanda, bermain, saling ejek, bertengkar, lalu tertawa lagi. Tapi, kali ini aku menghabiskan waktu dengannya sebagai seorang kekasih. Kekasih yang kutaksir bertahun-tahun lamanya. Kami bergandengan tangan bersama, menyusuri jalan bersama, berlari bersama, dan bermain ayunan bersama. Aku tahu kami memang selalu melakukan sesuatu bersama, tapi kali ini aura merah jambu tebal mengelilingi kami. Kami sering tertawa-tawa sendiri. Cinta menyatukan dua orang idiot dan bodoh.
“Kau dan Hima lebih sering terlihat bersama sekarang” kata Ayah saat aku menyantap sarapan sebelum berangkat sekolah.
“kita memang selalu bersama kan yah?” kataku. Sepertinya ayahku mulai mencium hubungan kami.
“Kau pacaran dengannya Al?” Tanya Ayahku, menembak di tempat, wajahku panas. Ayahku terkekeh-kekeh.
“Ternyata anak ayah sudah besar. Dia wanita yang baik Al.” kata Ayahku menepuk bahuku lalu berjalan pergi, aku berbalik dan memeluknya. Sejak kematian ibu, dia telah menjadi ayah dan ibu terbaik untukku.
“Terima kasih ayah” ayah terkekeh lagi, lalu berjalan pergi.
Aku sudah banyak menemukan perbedaan antara aku dan Hima sejak aku mengenalnya. Sebelum hubungan kami jadi spesial seperti ini, kami tak mempermasalahkannya, tapi semakin hari perbedaan-perbedaan itu semakin mengoyak-oyak. Dia makan seperti ini, aku makan seperti itu, dia berfikiran seperti ini, dan aku begitu, dia pergi ke gereja, dan aku pergi ke masjid. Tak ada yang mampu bicara, kami menganggapnya hal yang biasa dalam sebuah hubungan, tapi makin hari ini makin mengganggu dan jadi ketakutan kami untuk terus bersama selamanya.
Aku mengantarnya ke gereja seperti biasa, kulihat ibunya duduk di kursi roda. Matanya memandangku kaku, lalu tampak kilat-kilat kebencian. Hima menarikku lalu kami pun pergi ke tanah lapang seperti biasa.
“Aku ingin mendengar lonceng-lonceng angin saat ini” katanya. Aku menatapnya heran. Sudah lama sejak pertama aku melihatnya menanti suara lonceng yang tak pernah ada itu. Untuk kedua kalinya aku penasaran apa yang dimintanya setelah aku tahu apa yang dimintanya bertahun-tahun yang lalu hingga ia setiap hari menanti suara-suara magis lonceng angin, yaitu kesembuhan ibunya dari lumbuh yang sampai sekarang diderita ibunya, ibunya adalah segalanya baginya, maka apa permintaanya kali ini.
“kali ini, apa yang kau harapkan?” tanyaku membelai anak-anak rambut ke belakang telinganya.
“rahasia” katanya tersenyum padaku, lalu tiba-tiba kulihat kabut tebal di matanya, dan air mata mulai terlihat menggenang.
“jadi apa rencanamu setelah ini?” tanyanya setelah ia kembali.
“Melanjutkan studiku sebenarnya, ke eropa mungkin, tapi salah satu perusahaan jepang yang kukirimi lamaran pekerjaan, kemaren mengirimiku e-mail, katanya aku diterima bekerja disana. Iseng-iseng malah diterima, apa salahnya dicoba.” Kataku.
“semakin jauh. Kenapa tak di Indonesia saja?” aku menghirup nafas dalam-dalam.
“aku sudah tak punya saudara siapa-siapa lagi disini, sejak ayah meninggal, tak ada yang memberatkanku. Lagi pula aku seorang petualang sejati yang ingin mengunjungi setiap pelosok dunia kan Him?” kataku.
“masih ada mbok Narti” katanya. Mbok Narti adalah orang yang bekerja untuk ayah dulu, ia sudah kuanggap seperti ibuku sendiri, sampai sekarang, mbok Narti masih menjaga rumahku disini.
“masih ada aku dan sahabat-sahabatmu yang lain” lanjutnya. Aku tersenyum padanya.
“takdirku bertualang, itu lebih baik” kataku lagi. Kami diam.
“aku senang kau berkunjung kemari. Aku selalu berfikir kau tidak akan pernah memaafkanku…”
“hei, hei.. kita sudah membicarakan ini berulang-ulang. Aku sudah memaafkan, ah tidak, tidak ada yang perlu dimaafkan, tidak ada yang salah, karena ibumu tahu aku tak akan mungkin seiman denganmu dan kau tak mungkin sejalan denganku. Terlebih setelah ibumu meninggal, dan dalam surat wasiatnya mengharuskanmu menikah. Percayalah tak ada yang salah. Kita bersahabat bertahun-tahun Him, tidak! puluhan tahun! friendship turn a love memang indah, tapi love turn a friendship sepertinya tak kalah indah, meski menyakitkan, meski aku sempat marah padamu, sangat. Tapi sekarang berbeda, aku senang melihat keponakanku tumbuh dengan lucu, sehat. Kau memang ibu yang hebat. Apa yang kau risaukan? cita-citaku sudah hampir semuanya tercapai.” Kulihat wajahnya sendu, tapi beberapa saat kemudian, ia menatapku dan tersenyum.
“aku bahagia punya dua malaikat-malaikat kecilku itu Al. awalnya, aku sempat mengutuk takdir, mengapa ini terjadi atau mengapa itu terjadi, kenapa begini, atau kenapa begitu. Aku selalu berandai-andai punya alat untuk memundurkan waktu dan mengulangi serta memperbaikinya. Tapi aku sadar tidak ada yang perlu diulangi atau diperbaiki. Aku masih memilikimu sebagai seorang sahabat dan kakak, paman bagi anak-anakku” hatiku cukup mencelos dan berdesir mendengarnya bicara.
“berjanjilah untuk menemukan wanita yang paling baik” katanya lagi, aku mengangguk.
‘aku kesini bukan bermaksud untuk mengungkit hal-hal yang sudah terjadi, tapi jujur, ini membuatku lega.” Kataku.
“aku selalu berdo’a kau bahagia. Seperti yang ayahmu harapkan” katanya. Aku tersentuh. Begitu pula aku Him, aku selalu, selalu mendo’akan kebahagiaanmu.
“jangan risaukan aku, jadilah ibu dan istri yang baik. Kau punya suami dan anak-anak yang luar biasa.”
“aku tahu” katanya.
“kapan kau kembali?” tanyanya lagi.
“lusa.” Jawabku pendek. Kami berdua diam cukup lama sampai aku memutuskan untuk pamit.
“mana anak-anakmu?”
Hima memanggil dua bocahnya ke dalam. Aku mengeluarkan saku celanaku setelah mereka berlari-lari keluar. dua bocah itu saling berebutan mesti kotak yang kuberikan dua. Aku terkekeh-kekeh. Mereka cepat-cepat membuka dan menemukan kalung dengan lonceng emas kecil. Hima terkejut, lalu menatapku cepat.
“bukan lonceng dari ibuku, itu dariku.” Kataku lalu memperlihatkan dua lonceng lain dari saku celanaku.
“terima kasih paman,” kata mereka bersamaan. Aku terkekeh lagi.
“jadi anak baik-baik ya” kataku.
“kapan-kapan boleh bawa mobil-mobilan saja ya paman!” teriak salah satu, aku kembali tertawa.
“tentu. Mobil ya?” kataku.
“aku pamit dulu. Salam untuk suamimu ya” kataku. Hima tersenyum dan mengangguk.
“hati-hati” katanya. Aku mengangguk lalu melambai, berbalik dan berjalan di jalan setapak kecil. Hujan sudah benar-benar reda. Ayunan dari ban karet basah dan meneteskan air dari pegangannya. Air-air di ujung-ujung rumput jepang terlihat seperti embun. Ini keputusan yang benar kurasa. Bertahun-tahun sesuatu menyuruhku kesini. Menyuruhku menyelesaikan sesuatu yang belum selesai dan mengganjal disini. Akan kupastikan dia bahagia dan tidak ada rasa bersalah di antara kami. Sejak kata-kata perpisahan itu, karena ibunya tak mengizinkan dan sakit-sakitan. Setelah aku marah padanya dan mengambil beasiswa ke Singapura. Dan setelah bertahun-tahun mencoba mengembalikan persahabatan kami. Dan hari ini, aku merasa lega. Sudah saatnya maju dan membuka diri.
Bandara Narita masih terlihat ramai meski salju turn setebal kaki. Sepanjang mata memandang hanya orang-orang lalu lalang dengan gaya berjalan seperti hendak berlari khas orang-orang jepang. Kukencangkan jaketku mendapati udara yang luar biasa dingin di luar sana. Kuseret koperku dan berjalan pergi. Tiba-tiba kulihat seorang gadis jepang dengan rambut sebahu. Kuamati dia. Dia sama sekali tidak bergerak dan terus saja menatap salju yang turun dari balik kaca. Kuputuskan kuhampiri dia.
“excusme! can you tell me what time is it?” tanyaku. Gadis itu menoleh, lalu buru-buru melihat jamnya, aku kira dia tidak mengerti bahasa inggris.
“it’s 9. 9 o’clock” katanya.
“oh, thank you” kataku. Dia mengangguk lalu melanjutkan menatap butiran-butiran salju.
“emm… I’m alva” kataku mengulurkan tangan. Dia menoleh dan menatapku heran.
“Dewi” katanya. Aku terkejut. Sebelum sempat bertanya dari mana dia, dia buru-buru berkata.
“from Indonesia” katanya lagi. Aku terkekeh-kekeh.
“saya juga orang Indonesia. Saya kira anda orang jepang” kataku. Itu beralasan karena matanya sipit dengan tubuh mungil dan kulit putih.
“apa yang anda lihat?” tanyaku
“salju. Turun seperti peri-peri yang punya kekuatan magis.” Katanya.
“ini pertamakalinyakah anda melihat salju?” tanyaku. Dia menggeleng.
“aku sudah bertahun-tahun tinggal disini” katanya. “tapi entah kenapa aku seperti jatuh cinta” keningku mengkerut.
“salju bisa jadi peri cantik, tapi bisa jadi iblis” kataku. Giliran dia yang menatapku heran. Kami terus mengamati salju yang turun, gadis salju. Bisikku.

KEMATIANKU

Awan gelap terburu-buru memayungi bumi. Tetesan hujan semakin keras terdengar berpacu dengan rintihan binatang malam. Sesekali kilatnya menjilat bumi. Aku duduk di atas bangku yang ketiga kakinya keropos. Rumah kosong ini terlihat gosong sepertinya api tak kuasa menghabiskanya. kupandang gumpalan darah kering yang berceceran di tembok. aku tetap menatap darah itu. Itu darahku. Masih terekam jelas dalam memoriku tentang kronologi kematianku disini.

Tragedi menyayat hati itu terjadi tepat memasuki detik-detik pergantian tahun. Berawal dari si sony anak semata wayangku yang sering pulang malam. Sambil membawa aroma alkohol yang menyesakkan hawa sepetak rumah warisan nenek sony yang kami huni berdua. Hari-hari yang menjadi saksi tingkah laku sony seakan menjadi lembaran yang terus menumpuk dan perlahan membentuk keresahan bagiku. Memang, selama ini aku tak memperdulikan hal itu. Aku hanya tak ingin mengikat kebebasanya dengan aturanku. Alhmarhum suamiku sering mengatakan, “biarkan anak kita tumbuh dengan banyak pengalaman di luar, pengalaman yang akan mengajarinya untuk dewasa”.

Malam itu gerimis mengiringi pergantian tahun. Rasa gelisah mengepul di dadaku karena sony yang pergi tanpa pamit dan hampir dini hari dia belum pulang juga. Tetanggaku sering menemuinya sedang berkumpul dengan teman sebayanya. Duduk melingkar dengan beberapa botol ditengah mereka. Sampai detik pergantian tahun, aku masih menunggu di ruang tamu. Melamun sambil memandang dengan tatapan kosong pada jam dinding. Malam itu sepi, hanya nyanyian detak jam yang mengunyah waktuku.

Tiba-tiba sony masuk dengan diiringi suara khas pintu rumah. Sepintas mataku menatap jarum jam yang menunjukan jam tiga pagi. Ternyata aku tertidur dan melewatkan beberapa jam waktu penantian. Dengan baju basah dia menuju kamarnya sambil meninggalkan jejak ceceran air di lantai. Sontak aku memanggilnya, “sony.. kesini sebentar, ibu mau bertanya beberapa hal tentangmu yang akhir-akhir ini selalu pergi tanpa pamit”.. dengan nada yang semakin melengking seiring sony yang berjalan semakin menjauh. Entah mengapa sepertinya emosi membakar ubun-ubunku, ketika beberapa saat sony tak menjawab kata-kataku. Akupun mencoba menghampirinya dengan langkah gontai akibat rasa capek yang mengendap ditubuhku.

“Haaaahh…”, dari kejauhan suara sony menusuk telingaku. Kupercepat jalanku menuju kamarnya dengan dahi mengombak. Dalam kamar sony yang berukuran 4x4 dengan hanya bersekat triplek. Lampu kamarnya pecah dan kacanya berserakan. Di pojok sudut ruang kotak itu soni jongkok sambil melindungi kepalanya dengan lipatan tanganya. kasurnya berantakan, cermin telah menjadi mozaik dan berserakan di lantai, bekas kopi semalam membasahi tembok triplek itu. Pemandangan itu memacu aliran jantungku. “sony..apa yang kamu lakukan..?”, sikap diamnya membuatku penasaran dengan segera aku berupaya mendekatinya. Baru baru selangkah aku berjalan kaca yang berserakan itu menyobek telapak kakiku.

“aduh, coba liat kaki ibu keluar darah karena ulahmu.. kamu kenapa sony? Pulang malam.. pergi tanpa pamit.. pulang dengan baju basah.. badanmu bau alkohol..” tanpa menghiraukan sakit yang membuat darah di kakiku muncrat, akupun menghujamnya dengan beberapa pertanyaan.

“diam.. ibu bikin rame aja.. sana, ibu tidur aja daripada ngomel-ngomel gak jelas”

“nak.. aku ini ibumu, aku yang telah berjuang mati-matian mengeluarkanmu dari rahimku. Dari mana kamu belajar kata-kata kasar itu..”

“huuhh..”

“jawab sony, sebelum ibu melaknatmu menjadi anak yang durhaka..?”

“diiiaaaam..”

“dasar anak durhaka.. ibu menyesal telah melahirkanmu.. kamu selalu bikin malu orang tua.. pulang malam, mabuk, tawuran.. apa kamu lupa siapa yang melahirkanmu.. sadarlah nak..”

“haaaaahhh..”

Tiba-tiba dia mengeram keras dan tanganya mengambil potongan kaca. Perlahan dia berdiri seakan siap untuk berlari. Kamar yang gelap itu menutupi wajahnya. Lalu pecahan kaca itu dia ayunkan ke perutku. Darah segar mengucur deras dari sela belahan akibat pecahan kaca itu.

“bruuggh”, tubuhku membentur lantai yang dipenuhi serakan kaca.

Mulutku kaku, saat itu tak ada yang bisa aku ucapkan. Aku masih mengingat matanya merah dan berkaca-kaca. Dia terus menghujam kearah perutku. Seketika pengelihatanku menjadi gelap.

Setelah itu, dari kejauhan aku merasa melihat sosok mayat dengan isi perut berhamburan. Darahnya menggenangi lantai. Seorang anak lelaki kecil masih menusuk wanita itu berkali-kali. Aku mendekati sosok wanita yang tergeletak di lantai. Kudapati dengan jelas wanita itu adalah aku dengan anak laki-laki bertubuh sony di sebelahnya.

“Mengapa kita harus hidup dengan skenario takdir yang sudah disepakati. Seperti apa yang kualami”, sambil merintih dan menangis perlahan aku mengeluarkan kata itu dari samping jendela.

Dia Sahabatku & Aku Sayang Padanya

“Aku tahu, Nita,” ujar Pram suatu hari.
“Tahu apa?” tanyaku tanpa curiga.
“Kau sedang dekat dengan pria lain.”
“Apa maksudmu? Pria yang mana?” tanyaku lagi, dan sekarang aku mulai curiga dia telah mencium jejak kebohonganku.
“Kau berubah. Terlampau jauh berubah.”
“Aku tidak pernah berubah, Pram. Aku tetaplah diriku yang seperti ini. Apa yang membuatmu menilai diriku berubah?”
“Ya, itu tadi. Kau sedang dekat dengan pria lain, dan itu yang membuatmu berubah.”
Hmm… Mungkin inilah saatnya aku berbicara soal kejujuran itu. Pastinya akan pahit untuknya. Tapi aku harus bisa melakukannya. Pram bukan hanya sekedar kekasihku. Dia tunanganku. Aku yang memilih dia untuk menjadi calon suamiku dan aku tidak boleh menyesal dengan pilihan yang kubuat sendiri.
Aku tahu, seharusnya aku tidak melakukan hal ini. Memiliki kedekatan dengan orang lain, sementara aku sudah bersama Pram. Tapi, apakah aku yang salah ketika rasa itu datang begitu saja menghampiriku? Aku tidak pernah memintanya hadir, rasa itu yang datang sendiri menghampiriku. Sekali lagi aku tanya. Apakah aku salah?
Kadang aku menginginkan suatu keadaan di mana aku sedang tidak terikat dengan suatu hubungan apapun. Aku rindu kesendirian itu bukan karena aku ingin sendiri. Hanya saja, aku ingin bisa jatuh cinta lagi kapanpun aku mau, dan dengan siapapun.
“Kau ingin tahu siapa dia. Itu kan maksudmu sedari tadi?!” tanyaku.
“Ya. Kau betul.”
“Mereka semua sahabatku. Dan pria itu…. Dia pun sahabatku, dan aku sayang padanya. Apa kau paham kata – kataku, Pram?”
“Kau tidak boleh menyayanginya.”
“Mengapa?”
“Karena kau milikku. Kau tidak boleh mencintai pria lain.”
“Aku tidak mencintainya. Aku hanya sayang dan peduli kepadanya. Apa itu salah? Dan satu lagi. Aku bukan milikmu, atau milik siapapun juga. Aku milik diriku sendiri. Jadi aku bebas memilih untuk menjatuhkan perasaanku pada siapapun.”
Manusia memang tidak pernah puas dengan apa yang sudah didapatnya. Termasuk aku, mungkin. Ah…, tidak. Aku bukannya tidak puas dengan pilihanku sendiri. Aku hanya ingin merasakan sesuatu yang berbeda, yang mungkin saja hanya bisa aku dapatkan ketika aku melenceng sedikit dari jalan setapak kehidupanku. Aku yakin, aku tidak sendirian berkubang dalam ketermelencengan itu.
“Jadi…, apa keputusanmu, Nita?”
“Keputusan yang mana lagi, Pram? Aku pikir kau sudah mengerti apa yang baru saja aku katakan.”
“Tidak. Itu belum cukup memberi kepastian untukku.”
“Pram…. Jika aku menyesal dengan pilihanku sendiri, mungkin saat ini kita tidak sedang berbicara di kamar ini. Percakapan ini membuatku harus berpikir ulang, apakah pilihanku sudah cukup membuatku nyaman. Jadi, sekali lagi kau menanyakan sesuatu tentang persahabatanku dengan pria itu, mungkin aku akan menjadi menyesal telah memilihmu.”
Hidup adalah pilihan. Dan aku telah memantapkan pilihanku sendiri. Sekali lagi aku tegaskan pada diriku sendiri, aku tidak boleh menyesalinya.
Soal pria lain yang dimaksud Pram tadi…, well…. Dia sahabatku… dan aku sayang padanya.