LONCENG-LONCENG ANGIN
Kususuri jalan kampungku yang lama kutinggal pergi, jalan-jalan kecil
itu tak berubah, masih seperti dulu, hanya mungkin konturnya yang
diperhalus, rumah-rumah penduduk di seberang-seberang jalan nampak lebih
modern sekarang, kalau dulu rumah-rumah banyak yang berkayu dan bergaya
joglo tradisional, dengan lantai yang masih tanah, berhalaman luas yang
ditumbuhi rumput-rumputan jepang dan bunga bougenfil, sekarang
rumah-rumah itu sudah banyak yang ditembok dan dikeramik, tak ada bunga
bougenfil rimbun, atau melati, atau bunga desember yang mekar
besar-besar.
Hujan turun juga, tak ada gerimis mula-mula. Air-air langit itu
tiba-tiba turun besar-besar dan ramai. Aku terkejut lalu berlari-lari
sambil memayungi diriku dengan telapak tangan. Menembus kebun orang dan
melewati jalan setapak kecil, bau hujan menyeruak, bau tanah basah yang
kurindu-rindukan. Air-air langit itu dengan cepat membasahi kaos oblong
dan celana trainingku. Kupercepat langkah kakiku, tapi tiba-tiba kakiku
mendadak berhenti, di depan rumah kayu dengan gaya joglo dan beratap
runcing, halaman luas, dengan pohon manga yang digantungi ayunan disana,
rumput jepang memadati halaman, serta aneka bunga-bungaan tumbuh subur.
Seorang wanita berdiri di depan rumah berkacak pinggang sambil
mengomel-omel dengan dua bocah laki-laki kembar yang tak menghiraukan
omelan, terus saja bermain dan berlari dibawah derasnya guyuran hujan.
Tertawa-tawa.
Untuk waktu sepersekian detik, memoriku meracau meracau, tiba-tiba
menggali-gali kenangan dan mengajakku berlari mundur. Wanita itu
melihatku basah kuyup di seberang jalan, seperti melihat kilat, ia
terlihat menahan nafas, aku tersenyum padanya, untuk jeda yang cukup
lama, wanita itu akhirnya tersenyum dan melambaikan tangannya,
menyuruhku berteduh di rumahnya.
—
“sempat tak mengenalimu” kataku memulai percakapan, setelah dia
kembali dari dalam dengan membawa teh hangat, lalu sepiring jagung rebus
yang masih berasap dan handuk kecil.
“tak apa kan, kita duduk di teras? suamiku tak di rumah” katanya lembut, dua lesung pipinya masih setia menghiasi senyumnya. Aku mengangguk cepat.
“enak di teras begini, hujan, adem. Mereka anak-anakmu?” tanyaku. Hima, wanita itu mengangguk sambil mengamati dua bocah lelaki kembar berusia sekitar tujuh tahun itu berlari di bawah hujan.
“akhirnya kamu punya anak kembar juga, itu impianmu sejak dulu, punya anak serupa yang lucu-lucu” kataku sambil menyeduh teh perlahan. Kulihat wajahnya, matanya menerawang ke depan. Kulihat ayunan dari ban karet bekas masih menggantung di dahan pohon mangganya, ayunan itu ada sejak aku masih kecil. Tak ada yang berubah, tak ada.
“tak apa kan, kita duduk di teras? suamiku tak di rumah” katanya lembut, dua lesung pipinya masih setia menghiasi senyumnya. Aku mengangguk cepat.
“enak di teras begini, hujan, adem. Mereka anak-anakmu?” tanyaku. Hima, wanita itu mengangguk sambil mengamati dua bocah lelaki kembar berusia sekitar tujuh tahun itu berlari di bawah hujan.
“akhirnya kamu punya anak kembar juga, itu impianmu sejak dulu, punya anak serupa yang lucu-lucu” kataku sambil menyeduh teh perlahan. Kulihat wajahnya, matanya menerawang ke depan. Kulihat ayunan dari ban karet bekas masih menggantung di dahan pohon mangganya, ayunan itu ada sejak aku masih kecil. Tak ada yang berubah, tak ada.
—
Usiaku Sembilan tahun saat aku dan ayahku pindah ke kampung ini,
ayahku petugas perhutani yang area kerjanya sewaktu-waktu
berpindah-pindah tempat. Untuk pertama kalinya, aku merasa asing. Aku
tak kenal orang-orang ini, tak juga pohon-pohon itu, batu-batuannya, tak
juga angin yang berhembus. Tapi aku juga bosan di rumah. Kuputuskan
berlari ke belakang rumah, dan kudapati tanah bekas sawah yang ditumbuhi
rumput-rumputan liar. tak ada siapa-siapa. Angina berhembus meniup-niup
rambut, tiba-tiba dari balik batu besar kulihat seorang gadis dengan
kucir kuda berdiri kaku, matanya yang lebar dan tajam, siaga! sesekali
ia menggosok-gosokkan tangannya di telinganya. Esoknya, kulihat ia lagi,
begitu pula esok, dan esoknya lagi, ia selalu berdiri disana, dan saat
angin berhembus, ia selalu siaga.
“Hei! hei! sedang apa kau?” teriakku, dia terkejut lalu menoleh, menatapku heran.
“kamu siapa?” tanyanya.
“aku Alva, ayahku dan aku baru saja pindah kesini, rumahku…”
‘sssstttt…” tiba-tiba ia melompat dan membungkam mulutku keras-keras, lalu seperti biasa ia seperti mempertajam pendengarannya dengan seksama ketika angin lewat dan berhembus.
“lanjutkan!” katanya setelah angin selesai berhembus.
“apa yang kau lakukan?” tanyaku.
“mendengarkan” dahiku berkerut.
“suara lonceng-lonceng, tidakkah kau mendengarnya?” katanya balik bertanya. Aku menggeleng.
“tidak ada lonceng disini, kalau kau ingin mendengar suara lonceng, aku punya dua buah di rumah, kecil-kecil, tapi bisa berbunyi, kau tidak harus berdiri disini sepanjang hari.” Ia menggeleng keras-keras.
“bukan lonceng biasa, tetapi lonceng-lonceng angina, yang dibawa dari utara.” Katanya, dahiku berkerut-kerut lagi. “suara lonceng ini misterius, tak sembarangan orang bisa mendengarnya, lonceng yang berasal dari angin. Jika kau mendengarnya, kau ucapkan permohonanmu, lalu tunggu dikabulkan.” Katanya serius. Rasanya aku ingin tertawa kencang, tapi melihatnya begitu bersemangat, kutahan sekuat tenaga tawaku yang hendakdak pecah.
“Ya sudah, aku pergi dulu, al-va” katanya lalu berlari. Rambut ekor kudanya berkibar-kibar.
“Hei! gadis lonceng! siapa namamu?” teriakku, dia berhenti.
“Hima!” teriaknya. Aku menggumamkan namanya, hima. Aku penasaran apa yang diinginkannya, hingga ia terus saja berdiri disana setiap hari, menunggu lonceng.
“Hei! hei! sedang apa kau?” teriakku, dia terkejut lalu menoleh, menatapku heran.
“kamu siapa?” tanyanya.
“aku Alva, ayahku dan aku baru saja pindah kesini, rumahku…”
‘sssstttt…” tiba-tiba ia melompat dan membungkam mulutku keras-keras, lalu seperti biasa ia seperti mempertajam pendengarannya dengan seksama ketika angin lewat dan berhembus.
“lanjutkan!” katanya setelah angin selesai berhembus.
“apa yang kau lakukan?” tanyaku.
“mendengarkan” dahiku berkerut.
“suara lonceng-lonceng, tidakkah kau mendengarnya?” katanya balik bertanya. Aku menggeleng.
“tidak ada lonceng disini, kalau kau ingin mendengar suara lonceng, aku punya dua buah di rumah, kecil-kecil, tapi bisa berbunyi, kau tidak harus berdiri disini sepanjang hari.” Ia menggeleng keras-keras.
“bukan lonceng biasa, tetapi lonceng-lonceng angina, yang dibawa dari utara.” Katanya, dahiku berkerut-kerut lagi. “suara lonceng ini misterius, tak sembarangan orang bisa mendengarnya, lonceng yang berasal dari angin. Jika kau mendengarnya, kau ucapkan permohonanmu, lalu tunggu dikabulkan.” Katanya serius. Rasanya aku ingin tertawa kencang, tapi melihatnya begitu bersemangat, kutahan sekuat tenaga tawaku yang hendakdak pecah.
“Ya sudah, aku pergi dulu, al-va” katanya lalu berlari. Rambut ekor kudanya berkibar-kibar.
“Hei! gadis lonceng! siapa namamu?” teriakku, dia berhenti.
“Hima!” teriaknya. Aku menggumamkan namanya, hima. Aku penasaran apa yang diinginkannya, hingga ia terus saja berdiri disana setiap hari, menunggu lonceng.
—
“kapan kau akan menikah?” tanyanya membuyarkan lamunanku, aku tersenyum.
“aku sudah punya anak dua, jangan terus-terusan sekolah dan kejar karir. Kau sudah sukses, saatnya memikirkan pernikahan” katanya. aku tertawa, dia menatapku heran.
“Ucapanmu mirip orang-orang, teman-temanku, kata-katanya sama, nadanya pun sama persis” kataku.
“Bertahun-tahun di Singapura apa tidak ada gadis Singapura yang kau taksir?” tanyanya lagi.
“Menaksir seorang wanita tidaklah mudah, kau tahu aku sulit jatuh hati pada wanita”
“menikahlah, aku belum tenang, jika belum melihatmu menikah dan bahagia” katanya, matanya berkabut.
“aku sudah punya anak dua, jangan terus-terusan sekolah dan kejar karir. Kau sudah sukses, saatnya memikirkan pernikahan” katanya. aku tertawa, dia menatapku heran.
“Ucapanmu mirip orang-orang, teman-temanku, kata-katanya sama, nadanya pun sama persis” kataku.
“Bertahun-tahun di Singapura apa tidak ada gadis Singapura yang kau taksir?” tanyanya lagi.
“Menaksir seorang wanita tidaklah mudah, kau tahu aku sulit jatuh hati pada wanita”
“menikahlah, aku belum tenang, jika belum melihatmu menikah dan bahagia” katanya, matanya berkabut.
—
Sejak pertama melihatnya, hatiku sudah dibawa pergi. Semakin hari,
setiap hari bertemu dengannya, sepulang sekolah, liburan sekolah, setiap
waktu luang kuhabiskan dengannya, di tanah lapang bekas sawah di
belakang rumah. Kian lama wajahnya berubah cantik dan dewasa. Kami
beranjak remaja dengan cepat, dan hanya dia wanita yang paling dekat
denganku. Tanah lapang tempat kami tumbuh dan dewasa tetap sama, tak
hanya aku dan Hima saja, teman-teman sekolah kami lainnya juga kadang
ikut nongkrong disana, bermain bola, belajar bersama dan tak melakukan
apa-apa. Dan saat itu, aku tahu, hatiku sudah hilang sepenuhnya, hatiku
telah digenggamnya kuat-kuat. Dan aku tergila-gila padanya.
“aku mendengar lonceng-lonceng itu berbunyi kemaren,” kataku. Dia terkejut dan menatapku lekat-lekat.
“apa yang kau minta?” tanyanya.
“aku minta gadis lonceng” kataku. Dia berkerut.
“aku memintamu dan aku, bersama” kataku. Ia terkejut, lalu perlahan wajahnya bersemu.
“Permintaanmu dikabulkan” katanya, lalu mencium pipiku cepat. Jantungku kelimbungan.
“aku mendengar lonceng-lonceng itu berbunyi kemaren,” kataku. Dia terkejut dan menatapku lekat-lekat.
“apa yang kau minta?” tanyanya.
“aku minta gadis lonceng” kataku. Dia berkerut.
“aku memintamu dan aku, bersama” kataku. Ia terkejut, lalu perlahan wajahnya bersemu.
“Permintaanmu dikabulkan” katanya, lalu mencium pipiku cepat. Jantungku kelimbungan.
—
“jangan risaukan aku, aku pasti menikah” kataku
“aku bicara begitu sebagai seorang sahabat, aku ingin melihat sahabatku juga bahagia” katanya, menatapku lekat-lekat. Anak-anaknya berlarian ke arahnya, saling teriak dengan badan basah kuyup. Hima memohon diri sebentar untuk mengurus buah hatinya, menggantikan baju mereka. Aku menatap ayunan itu, lama.
“aku bicara begitu sebagai seorang sahabat, aku ingin melihat sahabatku juga bahagia” katanya, menatapku lekat-lekat. Anak-anaknya berlarian ke arahnya, saling teriak dengan badan basah kuyup. Hima memohon diri sebentar untuk mengurus buah hatinya, menggantikan baju mereka. Aku menatap ayunan itu, lama.
—
Aku menghabiskan waktu bertahun-tahun bersamanya. Bercanda, bermain,
saling ejek, bertengkar, lalu tertawa lagi. Tapi, kali ini aku
menghabiskan waktu dengannya sebagai seorang kekasih. Kekasih yang
kutaksir bertahun-tahun lamanya. Kami bergandengan tangan bersama,
menyusuri jalan bersama, berlari bersama, dan bermain ayunan bersama.
Aku tahu kami memang selalu melakukan sesuatu bersama, tapi kali ini
aura merah jambu tebal mengelilingi kami. Kami sering tertawa-tawa
sendiri. Cinta menyatukan dua orang idiot dan bodoh.
“Kau dan Hima lebih sering terlihat bersama sekarang” kata Ayah saat aku menyantap sarapan sebelum berangkat sekolah.
“kita memang selalu bersama kan yah?” kataku. Sepertinya ayahku mulai mencium hubungan kami.
“Kau pacaran dengannya Al?” Tanya Ayahku, menembak di tempat, wajahku panas. Ayahku terkekeh-kekeh.
“Ternyata anak ayah sudah besar. Dia wanita yang baik Al.” kata Ayahku menepuk bahuku lalu berjalan pergi, aku berbalik dan memeluknya. Sejak kematian ibu, dia telah menjadi ayah dan ibu terbaik untukku.
“Terima kasih ayah” ayah terkekeh lagi, lalu berjalan pergi.
“Kau dan Hima lebih sering terlihat bersama sekarang” kata Ayah saat aku menyantap sarapan sebelum berangkat sekolah.
“kita memang selalu bersama kan yah?” kataku. Sepertinya ayahku mulai mencium hubungan kami.
“Kau pacaran dengannya Al?” Tanya Ayahku, menembak di tempat, wajahku panas. Ayahku terkekeh-kekeh.
“Ternyata anak ayah sudah besar. Dia wanita yang baik Al.” kata Ayahku menepuk bahuku lalu berjalan pergi, aku berbalik dan memeluknya. Sejak kematian ibu, dia telah menjadi ayah dan ibu terbaik untukku.
“Terima kasih ayah” ayah terkekeh lagi, lalu berjalan pergi.
—
Aku sudah banyak menemukan perbedaan antara aku dan Hima sejak aku
mengenalnya. Sebelum hubungan kami jadi spesial seperti ini, kami tak
mempermasalahkannya, tapi semakin hari perbedaan-perbedaan itu semakin
mengoyak-oyak. Dia makan seperti ini, aku makan seperti itu, dia
berfikiran seperti ini, dan aku begitu, dia pergi ke gereja, dan aku
pergi ke masjid. Tak ada yang mampu bicara, kami menganggapnya hal yang
biasa dalam sebuah hubungan, tapi makin hari ini makin mengganggu dan
jadi ketakutan kami untuk terus bersama selamanya.
Aku mengantarnya ke gereja seperti biasa, kulihat ibunya duduk di
kursi roda. Matanya memandangku kaku, lalu tampak kilat-kilat kebencian.
Hima menarikku lalu kami pun pergi ke tanah lapang seperti biasa.
“Aku ingin mendengar lonceng-lonceng angin saat ini” katanya. Aku menatapnya heran. Sudah lama sejak pertama aku melihatnya menanti suara lonceng yang tak pernah ada itu. Untuk kedua kalinya aku penasaran apa yang dimintanya setelah aku tahu apa yang dimintanya bertahun-tahun yang lalu hingga ia setiap hari menanti suara-suara magis lonceng angin, yaitu kesembuhan ibunya dari lumbuh yang sampai sekarang diderita ibunya, ibunya adalah segalanya baginya, maka apa permintaanya kali ini.
“kali ini, apa yang kau harapkan?” tanyaku membelai anak-anak rambut ke belakang telinganya.
“rahasia” katanya tersenyum padaku, lalu tiba-tiba kulihat kabut tebal di matanya, dan air mata mulai terlihat menggenang.
“Aku ingin mendengar lonceng-lonceng angin saat ini” katanya. Aku menatapnya heran. Sudah lama sejak pertama aku melihatnya menanti suara lonceng yang tak pernah ada itu. Untuk kedua kalinya aku penasaran apa yang dimintanya setelah aku tahu apa yang dimintanya bertahun-tahun yang lalu hingga ia setiap hari menanti suara-suara magis lonceng angin, yaitu kesembuhan ibunya dari lumbuh yang sampai sekarang diderita ibunya, ibunya adalah segalanya baginya, maka apa permintaanya kali ini.
“kali ini, apa yang kau harapkan?” tanyaku membelai anak-anak rambut ke belakang telinganya.
“rahasia” katanya tersenyum padaku, lalu tiba-tiba kulihat kabut tebal di matanya, dan air mata mulai terlihat menggenang.
—
“jadi apa rencanamu setelah ini?” tanyanya setelah ia kembali.
“Melanjutkan studiku sebenarnya, ke eropa mungkin, tapi salah satu perusahaan jepang yang kukirimi lamaran pekerjaan, kemaren mengirimiku e-mail, katanya aku diterima bekerja disana. Iseng-iseng malah diterima, apa salahnya dicoba.” Kataku.
“semakin jauh. Kenapa tak di Indonesia saja?” aku menghirup nafas dalam-dalam.
“aku sudah tak punya saudara siapa-siapa lagi disini, sejak ayah meninggal, tak ada yang memberatkanku. Lagi pula aku seorang petualang sejati yang ingin mengunjungi setiap pelosok dunia kan Him?” kataku.
“masih ada mbok Narti” katanya. Mbok Narti adalah orang yang bekerja untuk ayah dulu, ia sudah kuanggap seperti ibuku sendiri, sampai sekarang, mbok Narti masih menjaga rumahku disini.
“masih ada aku dan sahabat-sahabatmu yang lain” lanjutnya. Aku tersenyum padanya.
“takdirku bertualang, itu lebih baik” kataku lagi. Kami diam.
“aku senang kau berkunjung kemari. Aku selalu berfikir kau tidak akan pernah memaafkanku…”
“hei, hei.. kita sudah membicarakan ini berulang-ulang. Aku sudah memaafkan, ah tidak, tidak ada yang perlu dimaafkan, tidak ada yang salah, karena ibumu tahu aku tak akan mungkin seiman denganmu dan kau tak mungkin sejalan denganku. Terlebih setelah ibumu meninggal, dan dalam surat wasiatnya mengharuskanmu menikah. Percayalah tak ada yang salah. Kita bersahabat bertahun-tahun Him, tidak! puluhan tahun! friendship turn a love memang indah, tapi love turn a friendship sepertinya tak kalah indah, meski menyakitkan, meski aku sempat marah padamu, sangat. Tapi sekarang berbeda, aku senang melihat keponakanku tumbuh dengan lucu, sehat. Kau memang ibu yang hebat. Apa yang kau risaukan? cita-citaku sudah hampir semuanya tercapai.” Kulihat wajahnya sendu, tapi beberapa saat kemudian, ia menatapku dan tersenyum.
“aku bahagia punya dua malaikat-malaikat kecilku itu Al. awalnya, aku sempat mengutuk takdir, mengapa ini terjadi atau mengapa itu terjadi, kenapa begini, atau kenapa begitu. Aku selalu berandai-andai punya alat untuk memundurkan waktu dan mengulangi serta memperbaikinya. Tapi aku sadar tidak ada yang perlu diulangi atau diperbaiki. Aku masih memilikimu sebagai seorang sahabat dan kakak, paman bagi anak-anakku” hatiku cukup mencelos dan berdesir mendengarnya bicara.
“berjanjilah untuk menemukan wanita yang paling baik” katanya lagi, aku mengangguk.
‘aku kesini bukan bermaksud untuk mengungkit hal-hal yang sudah terjadi, tapi jujur, ini membuatku lega.” Kataku.
“aku selalu berdo’a kau bahagia. Seperti yang ayahmu harapkan” katanya. Aku tersentuh. Begitu pula aku Him, aku selalu, selalu mendo’akan kebahagiaanmu.
“jangan risaukan aku, jadilah ibu dan istri yang baik. Kau punya suami dan anak-anak yang luar biasa.”
“aku tahu” katanya.
“kapan kau kembali?” tanyanya lagi.
“lusa.” Jawabku pendek. Kami berdua diam cukup lama sampai aku memutuskan untuk pamit.
“mana anak-anakmu?”
Hima memanggil dua bocahnya ke dalam. Aku mengeluarkan saku celanaku setelah mereka berlari-lari keluar. dua bocah itu saling berebutan mesti kotak yang kuberikan dua. Aku terkekeh-kekeh. Mereka cepat-cepat membuka dan menemukan kalung dengan lonceng emas kecil. Hima terkejut, lalu menatapku cepat.
“bukan lonceng dari ibuku, itu dariku.” Kataku lalu memperlihatkan dua lonceng lain dari saku celanaku.
“terima kasih paman,” kata mereka bersamaan. Aku terkekeh lagi.
“jadi anak baik-baik ya” kataku.
“kapan-kapan boleh bawa mobil-mobilan saja ya paman!” teriak salah satu, aku kembali tertawa.
“tentu. Mobil ya?” kataku.
“aku pamit dulu. Salam untuk suamimu ya” kataku. Hima tersenyum dan mengangguk.
“hati-hati” katanya. Aku mengangguk lalu melambai, berbalik dan berjalan di jalan setapak kecil. Hujan sudah benar-benar reda. Ayunan dari ban karet basah dan meneteskan air dari pegangannya. Air-air di ujung-ujung rumput jepang terlihat seperti embun. Ini keputusan yang benar kurasa. Bertahun-tahun sesuatu menyuruhku kesini. Menyuruhku menyelesaikan sesuatu yang belum selesai dan mengganjal disini. Akan kupastikan dia bahagia dan tidak ada rasa bersalah di antara kami. Sejak kata-kata perpisahan itu, karena ibunya tak mengizinkan dan sakit-sakitan. Setelah aku marah padanya dan mengambil beasiswa ke Singapura. Dan setelah bertahun-tahun mencoba mengembalikan persahabatan kami. Dan hari ini, aku merasa lega. Sudah saatnya maju dan membuka diri.
“Melanjutkan studiku sebenarnya, ke eropa mungkin, tapi salah satu perusahaan jepang yang kukirimi lamaran pekerjaan, kemaren mengirimiku e-mail, katanya aku diterima bekerja disana. Iseng-iseng malah diterima, apa salahnya dicoba.” Kataku.
“semakin jauh. Kenapa tak di Indonesia saja?” aku menghirup nafas dalam-dalam.
“aku sudah tak punya saudara siapa-siapa lagi disini, sejak ayah meninggal, tak ada yang memberatkanku. Lagi pula aku seorang petualang sejati yang ingin mengunjungi setiap pelosok dunia kan Him?” kataku.
“masih ada mbok Narti” katanya. Mbok Narti adalah orang yang bekerja untuk ayah dulu, ia sudah kuanggap seperti ibuku sendiri, sampai sekarang, mbok Narti masih menjaga rumahku disini.
“masih ada aku dan sahabat-sahabatmu yang lain” lanjutnya. Aku tersenyum padanya.
“takdirku bertualang, itu lebih baik” kataku lagi. Kami diam.
“aku senang kau berkunjung kemari. Aku selalu berfikir kau tidak akan pernah memaafkanku…”
“hei, hei.. kita sudah membicarakan ini berulang-ulang. Aku sudah memaafkan, ah tidak, tidak ada yang perlu dimaafkan, tidak ada yang salah, karena ibumu tahu aku tak akan mungkin seiman denganmu dan kau tak mungkin sejalan denganku. Terlebih setelah ibumu meninggal, dan dalam surat wasiatnya mengharuskanmu menikah. Percayalah tak ada yang salah. Kita bersahabat bertahun-tahun Him, tidak! puluhan tahun! friendship turn a love memang indah, tapi love turn a friendship sepertinya tak kalah indah, meski menyakitkan, meski aku sempat marah padamu, sangat. Tapi sekarang berbeda, aku senang melihat keponakanku tumbuh dengan lucu, sehat. Kau memang ibu yang hebat. Apa yang kau risaukan? cita-citaku sudah hampir semuanya tercapai.” Kulihat wajahnya sendu, tapi beberapa saat kemudian, ia menatapku dan tersenyum.
“aku bahagia punya dua malaikat-malaikat kecilku itu Al. awalnya, aku sempat mengutuk takdir, mengapa ini terjadi atau mengapa itu terjadi, kenapa begini, atau kenapa begitu. Aku selalu berandai-andai punya alat untuk memundurkan waktu dan mengulangi serta memperbaikinya. Tapi aku sadar tidak ada yang perlu diulangi atau diperbaiki. Aku masih memilikimu sebagai seorang sahabat dan kakak, paman bagi anak-anakku” hatiku cukup mencelos dan berdesir mendengarnya bicara.
“berjanjilah untuk menemukan wanita yang paling baik” katanya lagi, aku mengangguk.
‘aku kesini bukan bermaksud untuk mengungkit hal-hal yang sudah terjadi, tapi jujur, ini membuatku lega.” Kataku.
“aku selalu berdo’a kau bahagia. Seperti yang ayahmu harapkan” katanya. Aku tersentuh. Begitu pula aku Him, aku selalu, selalu mendo’akan kebahagiaanmu.
“jangan risaukan aku, jadilah ibu dan istri yang baik. Kau punya suami dan anak-anak yang luar biasa.”
“aku tahu” katanya.
“kapan kau kembali?” tanyanya lagi.
“lusa.” Jawabku pendek. Kami berdua diam cukup lama sampai aku memutuskan untuk pamit.
“mana anak-anakmu?”
Hima memanggil dua bocahnya ke dalam. Aku mengeluarkan saku celanaku setelah mereka berlari-lari keluar. dua bocah itu saling berebutan mesti kotak yang kuberikan dua. Aku terkekeh-kekeh. Mereka cepat-cepat membuka dan menemukan kalung dengan lonceng emas kecil. Hima terkejut, lalu menatapku cepat.
“bukan lonceng dari ibuku, itu dariku.” Kataku lalu memperlihatkan dua lonceng lain dari saku celanaku.
“terima kasih paman,” kata mereka bersamaan. Aku terkekeh lagi.
“jadi anak baik-baik ya” kataku.
“kapan-kapan boleh bawa mobil-mobilan saja ya paman!” teriak salah satu, aku kembali tertawa.
“tentu. Mobil ya?” kataku.
“aku pamit dulu. Salam untuk suamimu ya” kataku. Hima tersenyum dan mengangguk.
“hati-hati” katanya. Aku mengangguk lalu melambai, berbalik dan berjalan di jalan setapak kecil. Hujan sudah benar-benar reda. Ayunan dari ban karet basah dan meneteskan air dari pegangannya. Air-air di ujung-ujung rumput jepang terlihat seperti embun. Ini keputusan yang benar kurasa. Bertahun-tahun sesuatu menyuruhku kesini. Menyuruhku menyelesaikan sesuatu yang belum selesai dan mengganjal disini. Akan kupastikan dia bahagia dan tidak ada rasa bersalah di antara kami. Sejak kata-kata perpisahan itu, karena ibunya tak mengizinkan dan sakit-sakitan. Setelah aku marah padanya dan mengambil beasiswa ke Singapura. Dan setelah bertahun-tahun mencoba mengembalikan persahabatan kami. Dan hari ini, aku merasa lega. Sudah saatnya maju dan membuka diri.
—
Bandara Narita masih terlihat ramai meski salju turn setebal kaki.
Sepanjang mata memandang hanya orang-orang lalu lalang dengan gaya
berjalan seperti hendak berlari khas orang-orang jepang. Kukencangkan
jaketku mendapati udara yang luar biasa dingin di luar sana. Kuseret
koperku dan berjalan pergi. Tiba-tiba kulihat seorang gadis jepang
dengan rambut sebahu. Kuamati dia. Dia sama sekali tidak bergerak dan
terus saja menatap salju yang turun dari balik kaca. Kuputuskan
kuhampiri dia.
“excusme! can you tell me what time is it?” tanyaku. Gadis itu menoleh, lalu buru-buru melihat jamnya, aku kira dia tidak mengerti bahasa inggris.
“it’s 9. 9 o’clock” katanya.
“oh, thank you” kataku. Dia mengangguk lalu melanjutkan menatap butiran-butiran salju.
“emm… I’m alva” kataku mengulurkan tangan. Dia menoleh dan menatapku heran.
“Dewi” katanya. Aku terkejut. Sebelum sempat bertanya dari mana dia, dia buru-buru berkata.
“from Indonesia” katanya lagi. Aku terkekeh-kekeh.
“saya juga orang Indonesia. Saya kira anda orang jepang” kataku. Itu beralasan karena matanya sipit dengan tubuh mungil dan kulit putih.
“apa yang anda lihat?” tanyaku
“salju. Turun seperti peri-peri yang punya kekuatan magis.” Katanya.
“ini pertamakalinyakah anda melihat salju?” tanyaku. Dia menggeleng.
“aku sudah bertahun-tahun tinggal disini” katanya. “tapi entah kenapa aku seperti jatuh cinta” keningku mengkerut.
“salju bisa jadi peri cantik, tapi bisa jadi iblis” kataku. Giliran dia yang menatapku heran. Kami terus mengamati salju yang turun, gadis salju. Bisikku.
“excusme! can you tell me what time is it?” tanyaku. Gadis itu menoleh, lalu buru-buru melihat jamnya, aku kira dia tidak mengerti bahasa inggris.
“it’s 9. 9 o’clock” katanya.
“oh, thank you” kataku. Dia mengangguk lalu melanjutkan menatap butiran-butiran salju.
“emm… I’m alva” kataku mengulurkan tangan. Dia menoleh dan menatapku heran.
“Dewi” katanya. Aku terkejut. Sebelum sempat bertanya dari mana dia, dia buru-buru berkata.
“from Indonesia” katanya lagi. Aku terkekeh-kekeh.
“saya juga orang Indonesia. Saya kira anda orang jepang” kataku. Itu beralasan karena matanya sipit dengan tubuh mungil dan kulit putih.
“apa yang anda lihat?” tanyaku
“salju. Turun seperti peri-peri yang punya kekuatan magis.” Katanya.
“ini pertamakalinyakah anda melihat salju?” tanyaku. Dia menggeleng.
“aku sudah bertahun-tahun tinggal disini” katanya. “tapi entah kenapa aku seperti jatuh cinta” keningku mengkerut.
“salju bisa jadi peri cantik, tapi bisa jadi iblis” kataku. Giliran dia yang menatapku heran. Kami terus mengamati salju yang turun, gadis salju. Bisikku.
0 komentar :
Posting Komentar